DI BAWAH naungan pohon nangka yang berdiri di pojok halaman, bangunan itu tampak sederhana. Bercat putih polos Slot Qris tanpa dekorasi yang mencolok. Sekilas tak ada yang istimewa dari tempat itu.
Namun, spanduk besar yang terpancang di bawah pohon menyirep siapa pun yang melintas: “Sekolah Antikorupsi KPK RI – TK Islam Terpadu Al Ahkam”. Ada misi mulia yang sedang disemai di situ: mencetak generasi antikorupsi.
TK Islam Terpadu Al Ahkam terletak di Desa Sukorejo, Kecamatan Suku Tengah Lakitan Ulu Terawas. Daerah ini dijangkau sekitar 30 menit dari kantor Kabupaten Musirawas, Sumatera Selatan.
Dari desa kecil itu, Al Ahkam telah menarik perhatian sekitarnya, bahkan sampai tingkat nasional. Akhir Juni lalu, mereka terpilih sebagai peserta Anti-Corruption Academy 2024. Secara nasional, hanya sembilan sekolah yang lolos seleksi ACA. Selama empat hari di Jakarta, mereka dibekali materi pendidikan antikorupsi (PAK) secara langsung oleh Direktorat Jejaring Pendidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
ACA tak sebatas program apresiasi, tapi pembekalan bagi sekolah dan madrasah di Indonesia yang melaporkan data implementasi PAK di platform JAGA.id yang dikelola KPK dan sistem EMIS (education management information system) milik Kementerian Agama.
Asep Irama dan guru-guru Al Ahkam merasa terhormat atas apresiasi itu. Terlebih, pengakuan itu diraih tanpa membawa embel-embel, bahwa dirinya sebagai penyuluh antikorupsi (Paksi). “Saya senang sekali karena tak membawa nama Paksi. Tim ACA baru tahu [Paksi] saat saya sudah di ACLC,” ujar kepala sekolah Al Ahkam itu.
SERI ACA LAIN:
Dedikasi Raudhatul Amin: Pendidikan Antikorupsi di Bawah Atap Biru
Az-Zahra: Spirit Sekolah Kejujuran di Serambi Madinah
Asep merupakan satu-satunya Paksi yang berada di Musirawas dan tergabung dalam forum penyuluh antikorupsi Provinsi Sumsel: AMPERA (Aliansi Master Penyuluh Ranah Antikorupsi).
Meski materi antikorupsi bukan hal baru baginya, ia mengakui banyak hal yang masih belum diketahui. Saat mengikuti pembekalan di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi (ACLC) KPK, ia bersyukur akhirnya memperoleh apa yang selama ini diharapkan: pendalaman kurikulum PAK.
Selama mengelola Al Ahkam, jujur, ia mengatakan, belum menerapkan kurikulum ini secara utuh. Namun, ia baru menerapkan sebatas pendidikan karakter atau nilai-nilai antikorupsi, seperti jujur, disiplin, tanggung jawab, dan mandiri.
Padahal, fokus pendidikan antikorupsi bukan saja anak didik, melainkan pula pada sisi tata kelola sekolah dan tenaga pendidik. “Setelah ikut ACA, saya jadi tahu bahwa ada bagian tata kelola ekosistem yang seharusnya diterapkan juga,” ujarnya.
Menurut Asep, program ACA memberikan dampak nyata bagi sekolahnya karena kini pihaknya tak lagi dipandang sebelah mata. “Dinas Pendidikan kini sangat mendukung kami,” katanya.
Dampak lain, lanjutnya, memberikan pengaruh bagi sekolah-sekolah TK lain. Mereka tertarik untuk menerapkan pendidikan antikorupsi serupa yang dilakukan Al Ahkam.
Jalan yang ditapaki Al Ahkam untuk mencapai pengakuan itu bukan tak melewati rintangan. Embrio sekolah ini tercetus awal 2022 setelah ia meninggalkan karier sebagai direktur pendidikan atau kepala sekolah di sekolah menengah pertama swasta di Palembang. Jarak yang jauh sekaligus kondisi istri sedang hamil menjadi alasan kuat dirinya hanya bertahan enam bulan di sekolah itu. Akhirnya, di rumahnya yang cukup luas, ia membuka les baca dan tulis serta mengaji Al Quran untuk anak-anak.
Sebelum menjadi kepsek, ia menghabiskan delapan tahun sebagai guru honorer di sekolah dasar swasta. Asep merupakan tamatan Pendidikan Agama Islam dari Institut Agama Islam Negeri Curup di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu—provinsi di sebelah barat Sumsel.
Bengkulu bukan daerah yang asing bagi Asep. Hampir separuh hidupnya ia habiskan di daerah itu. Pada 1996, waktu berusia enam tahun, ia bersama orangtuanya tiba di Bengkulu. Orangtuanya ikut program transmigrasi yang dicanangkan Pemerintah Orde Baru.
Asep lahir di tanah Sunda, ayahnya dari Bandung dan ibu asal Palembang. Namun, aksen bicaranya kental Jawa, yang diakuinya karena terpengaruh logat istrinya, perempuan Purworejo, Jawa Tengah.
Asep tumbuh besar di Desa Tanjung Gelang, Kecamatan Kota Padang, Rejang Lebong. “Waktu itu masih hutan, benar-benar terpencil dan tanpa akses yang baik,” katanya. Kondisi jalan pun masih berangkal dan tanah liat.
Sebagai anak transmigran, ia tetap belajar. Salah satu rumah warga dijadikan sekolah. Ia belajar hanya satu jam sehari. “Kami belajar seadanya. Yang penting belajar,” tuturnya.
Setamat SD, ia pergi sekolah ke kecamatan dan waktu tempuhnya empat jam perjalanan naik sepeda motor. Ia pun harus berpisah dengan orangtua. Ia ditawari tinggal di sebuah perumahan sekolah, tapi dengan syarat ia ikut membantu jaga sekolah. Kemujuran mendapatinya kala naik ke SMA, ia menerima beasiswa.